Legenda Cinta Pulau Kemarau



Konon satu riwayat seorang gadis cantik, putri seorang bangsawan dari masa kerajaan yg telah memeluk agama islam.

Sang putri bernama Siti Fatimah, yg pd suatu hari bertemu dengan seorang pemuda, seorang saudagar dari Tiongkok bernama Tan Bun Ann. Lalu singkat cerita mrk bertemu dan saling jatuh cinta.

Mereka kemudian berikrar untuk bersatu dan saling mencinta sampai ajal menjelang. Sang pemuda yang saat itu sedang berada di Palembang, ahirnya melamar sang pujaan hati pada ayahanda sang putri.
Namun karena adanya perbedaan keyakinan diantara keduanya, ayah sang putri tidak dpt menyetujui pernikahan itu.


Sang bangsawan lalu 'menolak' pinangan sang pemuda secara halus. Beliau lalu mengajukan persyaratan berat supaya tidak dapat dipenuhi oleh sang saudagar muda.
Maka disebutkanlah satu persyaratannya yg harus disanggupi yaitu harus menyediakan 9 guci besar berisi emas!

Begitu besar cinta Tan Bun An pada sang putri, sang pemuda tetap bersikukuh menerima syarat tersebut. Kemudian pangeran berkirim pesan pada keluarganya di Tiongkok agar segera mengirimkan 9 guci besar diisi emas ke Palembang.
Pada masa itu, lautan antara Tiongkok dan Palembang banyak berkeliaran kapal2 lanun atau bajak laut yg menjadi momok bagi kapal2 niaga.


Maka untuk menghindari penjarahan dari para lanun, maka keluarga sang pemuda membuat siasat dengan cara mengikirimkan guci² berisi emas itu dengan sebuah kapal butut. Lalu diatas guci² emas tadi ditaruh ikan asin dan sayur mayur.

Namun sayangnya siasat ini tidak diberitahukan pada sang pemuda.
Akhirnya tibalah kapal pembawa guci² emas itu di pelabuhan Palembang dengan selamat. Siasat keluarga besar Tan Bun Ann berhasil! Para lanun di lautan tidak berminat mengusik kapal butut yang bermuatan sayuran.


Karena kedatangan tamu jauh dari Tiongkok, ayahanda putri Siti Fatimah akhirnya berkenan menjamu seluruh kru kapal di rumahnya. Dan pada saat perjamuan berlangsung, Tan Bun Ann yang sudah tidak sabar lagi, ingin menunjukkan emas²nya pada sang putri. Mereka langsung menyelinap naik ke atas kapal pembawa guci emas itu.

Lalu dgn gembiranya Tan Bun An menuju guci² besar yang berada di geladak kapal dan membukanya. 
Tapi betapa terkejut dan kecewanya dia, ketika membuka tutup guci dan melihat isinya. Dalam rasa marah yg meluap karena prasangkanya, kemudian Tan Bun An melempar guci2 berisi emas tersebut ke dlm sungai Musi.

Namun, tepat disaat guci terakhir hendak dilemparnya, guci terlepas dari tangannnya, dan terhempas ke lantai kapal!
Betapa terkejutnya sang pemuda ketika mengetahui bahwa semua guci yang sdh dilemparnya ke sungai tadi ternyata memang berisi emas yg telah dipesannya.
Mendengar ada kegaduhan yang terjadi diatas kapal, ayahanda sang putri dan para kru yg sedang menikmati hidangan, bergegas menuju kapal. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, semua telah terjadi, sang pemuda dan putri terlihat sedang bingung dan bersedih. Tak ada emas maka tak kan ada pernikahan!

Dan dalam rasa penyesalan yang teramat sangat, karena telah menghilangkan kesempatan untuk hidup bersama putri pujaan, membuat Tan Bun An mengambil jalan pintas, dia lalu menceburkan diri ke dalam sungai Musi yang berarus deras. 
Melihat hal ini, Siti Fatimah jg tak dapat menguasai dirinya lagi, lalu diapun memutuskan tuk ikut menceburkan diri ke dalam sungai.

Tapi sebelum itu, dia sempat berujar,
'bila nanti muncul daratan ditengah sungai ini, maka di situlah kuburanku'
Dan setelah beberapa waktu berlalu, ternyata benar, lambat laun dari dasar sungai Musi muncul daratan yang akhirnya melebar hampir menyerupai sebuah kapal, dan sampai sekarang dikenal sebagai pulau Kemarau atau pulau Kemaro.

Apabila kita berkunjung ke pulau Kemaro, akan didapati tiga buah makam yang menyerupai batu karang, dimana setiap gundukan diberi semacam atap dari kayu dan diberi batu nisan dengan tulisan Tiongkok yang didominasi warna merah.
Menurut cerita, gundukan tanah yang di tengah adalah makam sang putri. Sedangkan dua gundukan tanah yang ada di sebelanya merupakan makam sang saudagar muda Tiongkok dan seorang pelayan kepercayaan.

Demikianlah kisah ini telah diceritakan secara turun temurun di masyarakat Palembang. Tentang kebenaran dari cerita ini, tetap jadi perdebatan didalam masyarakat.
Nah bagaimana menurut anda?

Sekian dulu dan terima kasih.

Postingan populer dari blog ini

Jembatan Ampera

Masjid Agung Palembang

Pulau Kemarau (Kemaro)